
PROKEPRI.COM, OPINI – Bila menyimak isi laman berita dan media sosial, dunia ternyata berubah begitu cepatnya. Seolah seperti kita baru bangun tidur dan dihadapkan pada fakta baru yang semuanya jauh berbeda. Begitu cepat. Tidak disangka dan itu nyata!
Semua karena artificial intelligence (AI). Sebuah kemampuan teknologi komputer yang mampu meniru kecerdasan manusia dalam mengubah, bertindak, belajar dan berpikir dalam memecahkan berbagai persoalan. Karena kecerdasan AI, kemampuan manusia yang sifatnya masih konvensional pelan-pelan teraleneasikan.
AI akan mengambil semua peran manusia dalam bidang industri, medis, sektor jasa bahkan tukang bangunan sekalipun. Pekerjaan seperti akunting, desain, pemahat atau hanya sekedar pendamping untuk menemani berbelanja di supermarket sudah diambil alih AI dalam bentuk robotik.
Teknologi AI mengubah persepsi kita tentang dunia nampaknya sebuah keniscayaan. Karena itu tidak mengherankan bila sebuah perusahaan di China yang bernama UBTech Robotics akan memproduksi massal robot humanoid untuk menggantikan tenaga manusia yang bekerja di berbagai sektor.
Di dunia medis, sebuah perusahaan Neko Health, memproduksi piranti kesehatan bertekhnologi AI yang mampu mendeteksi dan mendiagnosis tubuh manusia hanya dalam waktu tidak sampai satu menit.
Lompatan teknologi AI memang begitu luar biasa. Bahkan Elon Musk sudah mampu menciptakan robot yang bisa membaca dan merespon emosi manusia. Robot ciptaan Musk ini bisa diajak bercanda, berdiskusi, bekerja bersama bahkan untuk janjian berkencan.
Kemajuan teknologi AI yang super cepat di satu sisi memberikan kemudahan manusia dalam mengatur berbagai urusan. Namun dampak AI bagi tenaga kerja bagai awan gelap menggulung yang menyelimuti dunia masa depan generasi muda.
Kondisi ini sudah begitu terasa. Sebagian besar supermarket, mall dan pasar mulai sepi bahkan tutup. Kalau pun bertahan, memilih melakukan pengurangan karyawan secara besar-besaran.
Pergeseran dunia yang begitu cepat menjadikan para pencari kerja, kebnyakan anak muda, memilih mundur dari persaingan yang begitu hyper kompetitif. Mereka kebanyakan kalah bersaing oleh teknologi dan skill yang tidak memadai.
Sehingga tidak mengherankan apa bila ada persepsi bahwa skill dan kemampuan jauh lebih penting dari pada sekedar selembar ijazah.
Karena ketidakmampuan bersaing dalam mendapatkan pekerjaan akhirnya menciptakan ketidakpastian ekonomi yang juga endingnya menghilangkan martabat dan tujuan hidup para generasi muda.
Kenyataan ini juga jadi pukulan bagi para lulusan sarjana, yang selama ini dininabobokkan oleh narasi yang sudah terbangun kuat bahwa pendidikan akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Semua adagium itu kini terkikis habis. Dunia tidak lagi butuh ijazah. Dunia hanya butuh kamu bisa apa.***