Politik Identitas, Suatu Ancaman Kah?
Oleh: Radeta Tea Makdatuang (Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang)
PROKEPRI.COM,TANJUNGPINANG – Pemilu 2024 sudah semakin dekat, mulai bermunculan nama – nama bakal calon presiden yang akan maju di 2024 nantinya. Namun sejumlah spanduk berisikan penolakan salah satu capres terlihat terpasang di sejumlah titik khusus nya di Kabupaten Bondowoso.
Dalam spanduk tersebut bertuliskan
“Bondowoso Menolak Anies Baswedan Sampai Kiamat”. Selain menolak Anies, dalam spanduk tersebut juga berisikan penolakan terhadap politik identitas, PA 212, serta khilafah. Menurut Ketua Jaringan Nasional Anies Baswedan Bondowoso ia mengatakan pemasangan spanduk tersebut merupakan salah satu bentuk dari kampanye negatif. Isi dari spanduk tersebut telah menyudutkan Anies dan salah satunya penggunaan politik Identitas.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme meminta masyarakat untuk mewaspadai berbagai ancaman intoleransi menjelang pemilu 2024. Hal ini menjadi salah satu kekhawatiran salah satunya politik identitas yang bisa menyeret pola berpikir masyarakat sehingga hal itu dapat menjadi suatu ancaman kah bagi masyarakatnya? Politik identitas bisa kita maknai sebagai suatu strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya.
Politik identitas dianggap dapat merepresentasikan kemanusiaan melalui penggambarannya akan individu. Oleh sebab itu politik identitas diklaim bergulir secara universal dan merupakan bagian dari politik kebudayaan. Dari Agnes Heller, politik identitas adalah “Konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori utama.” Secara positif, politik identitas memberi sinyal keterbukaan, ruang kebebasan ide, terutama setelah kegagalan narasi besar untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang ada meskipun kemudian ancaman baru muncul.
Politik identitas adalah ekspresi kepentingan politik untuk melindungi kelompoknya. Orang orang yang berorganisasi atas dasar ras, etnis, jenis kelamin, atau agama membentuk suatu aliansi dan berorganisasi secara politis. Banyak para ahli yang meyakini bahwa politik identitas dapat mengancam demokrasi. Sistem politik dianggap yang terbaik dari yang terburuk sejauh ini. Sebuah sistem yang menjamin kesetaraan antara orang orang.
Setiap orang memiliki hak untuk memilih. Tapi tentu saja bagi mereka yang masih percaya pada demokrasi. Karena ada juga yang tidak percaya. Ada orang yang lebih percaya pada teokrasi.
Dalam konteks kehidupan berdemokrasi, politik identitas akan membawa masalah bagi demokrasi setidaknya dilihat dari dua hal utama. Yaitu yang pertama, demokrasi lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik.
Politik identitas pada tataran ini berupaya menghentikan hal tersebut dengan membuat pilihan publik terkait dengan ikatan adat seperti suku, ras, dan agama. Hal itu tidak menjadi masalah sepanjang kualitas, kredibilitas dan rekam jejak calon menjadi pertimbangan lain. Namun, politik identitas bermasalah ketika hubungan emosional jauh lebih penting dari pada alasan rasional.
Kedua, politik identitas berisiko menjadi praktik monolitik. Dikhawatirkan pemaksaan kehendak sebagai pembentukan klaim akan meningkatkan segresasi sosial di tengah masyarakat. Terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa tentu akan mendapati tantangan yang sangat berat pada tahap ini. Pada saat yang sama, ketika kita memperkuat demokrasi di Negara bangsa yang prular seperti Indonesia, kohesi sosial merupakan salah satu syarat bagi demokrasi yang bermakna untuk tumbuh dan berkembang. Politik identitas pada dasarnya suatu hal yang baik jika dipahami dalam kerangka kebhinekaan.
Namun itu akan menjadi suatu masalah yang dapat merugikan diri sendiri ketika pelaksanaannya secara tidak benar. Menjawab pertanyaan apakah politik identitas menjadi suatu ancaman? Politik identitas dapat menjadi bahaya apabila dalam praktik nya dijadikan alat untuk menjatuhkan sesama bakal calon. Eksploitasi identitas yang berlebihan bisa berujung kepada fasisme dan separatism.
Politik identitas yang dilakukan oleh kelompok – kelompok tertentu cenderung menciptakan identitas yang menyatu. Bangsa Indonesia seakan telah kehilangan ingatan akan sejarah kebhinekaannya. Menjelang pemilu 2024 ini, politik identitas tentu menjadi salah satu senjata yang biasa digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan lawan politik. Isu suku, agama, ras, dan golongan merupakan isu strategis yang dilontarkan ke tempat pemungutan suara.
Oleh karena itu, politik identitas harus dikelola dan dibangun dalam kerangka yang menciptakan proses demokrasi yang aman dan damai. Melihat dari masalah yang pernah ada, setiap elit politik harus memiliki kecerdasan, kepekaan, dan sensibilitas budaya terhadap isu – isu sosial dan politik di sekitarnya. Seorang pemimpin yang bijak harus dapat menggunakan akalnya untuk menyaring, menyeleksi dan memilah ungkapan – ungkapan yang dapat mengayomi seluruh warganya. Bagi pemilih nya sendiri, rakyat kita harus terus dididik untuk dapat memperkuat rasionalitas publik.
Dalam hal ini termasuk memberi edukasi mereka untuk tidak memprovokasi dan terprovokasi topi sensitive diruang publik. Memilih pemimpinnya bukan karena alasan suku, daerah atau agama, melainkan memilih pemimpin berdasarkan dari kualitas pribadinya. Edukasi semacam itu dapat membantu mengurangi berbagai masalah yang dapat mengancam integritas.
Editor: Muhammad Faiz