OPINI

Premanisme, Kebudayaan, dan Ideologi Kekerasan

Oleh: Asep Sahid Gatara, Dosen Fakultas FISIP, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

PROKEPRI.COM, OPINI – Premanisme merupakan bagian dari wajah ideologi kekerasan. Wajah penuh keyakinannya bahwa dunia merupakan lingkungan serba membenarkan tindakan kekerasan dalam upaya meraih tujuan. Karenanya ia memosisikan dunia sebagai ruang-ruang sekawanan lawan yang harus dihadapi dan ditundukan dengan modal keberanian dan kekerasan.

Ideologi kekerasan tersebut identik juga dengan semua gerakan kelompok ekstrimis, teroris, dan radikalis saat mereka melancarkan tindakan-tindaknnya. Bagi mereka kekerasan adalah jalan yang paling pintas dan absah dalam memperjuangkan dan memenangkan ideologinya.

Sebagai ideologi kekerasan, premanisme tidak tumbuh subur pada lingkungan hidup tertentu saja. Namun, ia dapat cepat tumbuh sumbur di semua lingkungan hidup, termasuk pada lingkungan hidup kebudayaan.

Celakanya, ia tumbuh subur tidak selalu melalui cara-cara represif yang terbuka dan langsung, namun juga beroperasi secara tidak langsung, lebih halus dan menyebar luas pada individu-individu atau pun kelompok-kelompok melalui ideologi yang tertanam pada lembaga dan budaya.

Basis Kebudayaan
Dalam konteks itu, budayawan Sunda, Wawan Setiawan, yang akrab dipanggil Kang Hawe, dalam sebuah kegiatan Webinar ICMI Jabar (14/05/2025) mengungkapkan bahwa kebudayaan bisa menjadi basis bagi legitimasi dan konsolidasi premanisme. Hal itu misalnya bisa dilihat dari nama-nama, simbol-simbol dan klaim-klaim yang digunakan dalam organisasi masyarakat (ormas) yang dibentuknya.

Dalam lingkungan masyarakat Jawa Barat terdapat ormas yang mengaitkan dengan nama, lambang, dan klaim-klaim wilayah kesundaan. Ada pula yang mengaitkannya dengan nilai-nilai kearifan lokal, seperti Siliwangi, Pajajaran, Kujang, dan lain sebagainya.

Selain itu, Kang Hawe mencermati premanisme tumbuh juga pada lingkungan hidup kebudayaan politik Indonesia. Di mana selama ini premanisme telah menjadi tulang pungggung budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Sehingga tidak mengherankan ia memiliki bahkan menganjurkan agar skeptis terhadap segala bentuk upaya pemberantasan premanisme. Ia mengibaratkan usaha apapun pemberantasan premanisme tidak akan lebih dari seperti usaha ‘Sangkuriang’.

Namun demikian, menurut Kang Hawe bukan berarti masyarakat luas, terutama golongan intelektual atau cendekiawan, lantas menyerah dan berdiam diri. Dari sisi kebudayaan golongan cendewkiawan dapat merayakan kembali kritik kebudayaan.

Pertama, kritik budaya ala Kabayan. Dalam arti, jangan terlalu serius juga (teu kedah sambil kerung), kita tetap memelihara suasana riang gembira. Kedua, kritik budaya ke arah pemberantasan KKN sebagai agenda utama Gerakan Reformasi yang sama sekali gagal.

Dan ketiga, golongan cendekiawan perlu membangun lagi jejaring intelektual lintas batas. Termasuk batas-batas identitas keagamaan, kesukuan, kewilayahan, atau kalau perlu transnasional.

Hemat penulis, pendekatan kebudayan di atas bukan berarti menapikan pendekatan yang ada, seperti keamanan, atau pun menepikan sikap optimistis. Namun, ia dapat melengkapinya agar tidak ada kebocoran atau kedodoran saat harus menempuh penanganan premanisme dalam jangka panjang.

Cultural Studies

Melalui pendekatan kebudayaan, premanisme dalam perspektif disiplin cultural studies misalnya, dapat dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Di sini, premanisme bukan hanya persoalan bacaan praktik perilaku sehari-hari, namun juga persoalan kumpulan bacaan sikap dan pengetahuan. Di mana perilaku apa pun akan dipengaruhi oleh sikap yang dimiliki dan pengetahuan yang didapatkan.

Oleh karena itu, dalam penanganan premanisme tidak cukup dengan penindakan hukum terhadap perilaku preman, namun juga harus mencakup penataan terhadap sikap dan pengetahuan. Tentu dengan model penanganan yang berbeda. Misalnya, ia lebih fokus pada penanganan yang bersifat pencegahan dan pembinaan, seperti edukasi, literasi, rehabilitasi, dan reintegrasi.

Long March Depremanisasi

​​​​​​​Dalam konteks inilah, “depremanisasi” menemukan relevansi dan momentumnya. Konsep yang merujuk pada praktik penurunan atau perubahan tingkat keyakinan individu atau kelompak tentang sikap dan perikalu kekerasan dan kejahatan. Selain itu, merujuk pada proses dan praktik penolakan terhadap segala bentuk ideologi premanisme.

Secara bahasa, depremaisiasi menurut Guru Besar Ilmu Politik UPI, Cecep Darmawan (2025), yang akrab dipanggil Cewan, adalah istilah yang relatif belum secara luas digunakan dalam literatur akademik. Depremanisasi terdiri dari dua unsur: “De-”: awalan yang berarti penghilangan atau pengurangan. “Premanisasi”: proses menjamurnya praktik premanisme dalam masyarakat.

Cewan menyampaikan bahwa depremanisasi serupa dengan konsep “Demiliterisasi”, yaitu mengembalikan kontrol sipil dari dominasi militer. “Deradikalisasi”, yaitu melemahkan pengaruh paham ekstremis atau paham radikalisme. Maka, “Depremanisasi” adalah strategi untuk melemahkan dominasi kekuasaan informal berbasis kekerasan atau premanisme di masyarakat.

Sementara itu, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UIN Bandung, Ija Suntana (2025), depremanisasi dapat berbasis pada teori “Dekonstruksi Aura Kekerasan Michel Foucault”, Discipline and Punish (1975). Praktinya dapat berupa membongkar representasi preman di media, yaitu negara menghilangkan glorifikasi preman yang berguna di film, buku pelajaran, dan konten media.

Kemudian, negara mendekonstruksi otoritas preman melalui de-bodily display, yaitu menjauhkan preman dari simbol-simbol fisik kekuasaan: pakaian militer, postur dominan, dan iring-iringan motor; Dan, Reformasi Arsitektur spasialitas, artimya preman tidak diberi penguasaan ruang-ruang fisik yang kosong dari negara, seperti terminal, pasar malam, parkiran liar.

Berdasarkan uraian konteks, konsep, dan teori di atas, depremanisasi dapat dihadirkan sebagai energi baru untuk menghidupkan dan sekaligus menggerakan mesin-mesin kewargaan dan kenegaraan dalam penanganan premanisme yang komprehensif dan berkelanjutan.

Suatu energi kecendekiawanan dan kebudayaan yang disiapkan untuk menempuh perjalanan jarak jauh, dengan gerak langkah long march penurunan atau pun penghapusan paham-paham dan praktik-praktik premanisme. Gerak kolektif dengan saling bergandengan tangan untuk memastikan benih-benih ideologi kekerasan tidak mudah lagi tumbuh subur di lingkungan kebudayaan apa pun. Termasuk di kebudayaan semesta tanah ibu pertiwi. Wallahu’alam bi shawab.

Asep Sahid Gatara, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Umum Wakil Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) Indonesia.***

Back to top button