Purwarupa Poros Maritim
Oleh : Agung Setiyo Wibowo (Dosen Ilmu Hubungan Internasional UMRAH)

Indonesia ialah negara kepulauan terbesar di dunia. Diapit oleh Benua Asia dan Australia dengan garis pantai terpanjang nomor dua di jagad raya setelah Kanada, negeri ini memiliki 17.000 pulau cantik yang terbentang dari Sabang sampai Merauke (Barat-Timur) dan dari Miangas hingga Rote (Utara-Selatan). Diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, sekitar 70 persen dari luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari perairan.
Berpijak pada takdir geografis, sejak awal Jakarta telah mafhum bahwa laut merupakan media penghubung sekaligus pemersatu yang tak terelakkan. Kenyataan itu diperkuat dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang secara tersirat mengukuhkannya sebagai negara kepulauan. Mencuatnya konsep “Poros Maritim Dunia” sejak awal pemerintahan Joko Widodo semakin menasbihkan positioning negeri ini sebagai simpul kepulauan terpenting di muka bumi. Sebuah konsep yang digulirkan untuk mewujudkan terjaminnya konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, revitalisasi transportasi laut, dan keamanan maritim.
Keseriusan Jakarta dalam mengusung gagasan poros maritim ditunjukkan pada KTT Asia Timur pada tahun 2015. Dalam kesempatan yang dihadiri oleh para petinggi negara di Myanmar tersebut, Indonesia menegaskan bahwa magnet gravitasi geopolitik maupun geoekonomi abad ke-21 telah bergeser dari Barat ke Timur. Indonesia merasa sebagai titik tumpu (fulcrum) dua samudera yang berada di antara dua raksasa Asia: India dan Tiongkok. Oleh karena itu, dianggap sebagai momentum yang tak boleh diabaikan dalam merealisasikan ambisinya sebagai sebagai porosnya maritim.
Guna membuktikan tajinya sebagai poros maritim, Kabinet Kerja secara normatif telah menelurkan lima pilar utama. Pertama, pembangunan kembali budaya maritim. Kedua, penjagaan dan pembangunan sumber daya laut dengan fokus kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan. Ketiga, pengembangan infrastruktur dan konektifitas maritim melalui pembangunan tol laut, pelabuhan laut, logistik, industri perkapalan, serta pariwisata maritim. Keempat, diplomasi maritim yang memungkinkan Indonesia lebih leluasa bekerjasama di bidang kelautan. Kelima, pembangunan dan penguatan pertahanan maritim.
Kepri Sebagai Purwarupa Poros Maritim
Kepulauan Riau secara langsung maupun tidak langsung dapat disebut sebagai purwarupa (prototype) poros maritim. Pasalnya, provinsi yang berbatasan langsung dengan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura ini memiliki luas wilayah yang sekitar 95% di antaranya merupakan perairan. Dengan lima kabupaten dan dua kota yang menyebar di lebih dari 2.400 pulau, tidak kurang dari 30% pulau belum berpenghuni dan bernama.
Memang, Kepri bukan satu-satunya provinsi yang berkarakteristik maritim. Masih ada beberapa provinsi lain yang wilayah lautnya melebihi luas daratannya. Sebut saja Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Bangka Belitung. Namun, Kepri memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh provinsi manapun di untaian zamrud khatulistiwa ini.
Pertama, pendidikan. Provinsi ini memiliki universitas negeri satu-satunya di Indonesia yang menyematkan kata “maritim” pada namanya yaitu Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). Meskipunsudah ada beberapa kampus besar yang secara parsial memiliki kepedulian dalam pengembangan teknologi kelautan, perikanan, atau perkapalan seperti ITS Surabaya, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Diponegoro Semarang, hingga ITB Bandung. Ada pula beberapa perguruan tinggi lain yang menyandang nama maritim seperti Sekolah Tinggi Ilmu Maritim “AMI” Jakarta, Akademi Maritim Cirebon, atau Politeknik Negeri Maritim Semarang. Namun, UMRAH merupakan satu-satunya PTN yang bervisi menjadi Universitas terkemuka di Indonesia berbasis maritim. Keberadaan gedung rektorat di tepian Pulau Dompak yang “dikalungi” lautan secara simbolis menjadi penegas begitu kuatnya citra sebagai institusi berbasis kemaritiman.
Kedua, pariwisata. Kepri merupakan penyumbang wisatawan mancanegara terbanyak di nusantara setelah Bali dan DKI Jakarta. Uniknya, turis yang menyambangi wilayah ini menyebar dari Batam, Lagoi di Bintan Utara, Pulau Penyengat, hingga Pulau Bawah Anambas. Suksesnya perhelatan Festival Bahari Kepri yang masih satu rangkaian dengan Sail Karimata 2016 mendorong mantan Menteri Koordinator bidang KemaritimanDwisuryo Indroyono Soesilo mendukungnya sebagai Pintu Gerbang Pariwisata Bahari Indonesia. Kabar menggembirakan itu sejalan dengan adanya “sinyal” dukungan Pemerintah Pusat yang mengamini berbagai program kemaritiman dan kepariwisataan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Kepulauan Riau. Terlebih lagi provinsi ini telah menggandeng KBRI Singapura untuk mempromosikan Kepri sebagai gerbang wisata bahari RI sejak tahun 2014.
Ketiga, kepelabuhan. Kepri memiliki pelabuhan laut yang bisa melayani Visa on Arrival(VoA) terbanyak di Indonesia. Mulai dari Bandar Bintan Telani Lagoi, Bandar Seri Udana Lobam, Pelabuhan Batam Center, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Pelabuhan Sri Bintan Pura dan seterusnya. Pemberlakuan kebijakan bebas visa untuk 169 negara dan kelonggaran masuknya kapal-kapal wisata asing untuk menggenjot kunjungan turis menjadi kuncinya.
Secarik Catatan
Kepulauan Riau memiliki segala karakteristik yang meneguhkan dirinya sebagai purwarupa poros maritim Indonesia untuk dunia. Untuk mendayagunakan posisi tersebut, masih ada beberapa catatan yang harus ditindaklanjuti.
Pertama, penguatan pertahanan dan keamanan maritim. Selama ini, Kepri masih menjadi salah satu daerah transit paling rawan untuk perdagangan perempuan dan anak, migrasi antarbangsa tanpa dokumen, obat-obatan terlarang, pencari suaka, hingga penyelundupan satwa langka. Pun memiliki titik-titik simpul perompakan di Selat Malaka, sasaran pencurian ikan oleh nelayan asing, hingga ancaman Tiongkok di bibir perairan Natuna. Kehadiran negara untuk mengatasi semua itu adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Kedua, pelestarian budaya bahari. Selama ini ada tren melunturnya budaya bahari di Bumi Segantang Lada. Anak-anak nelayan enggan meneruskan profesi orangtuanya karena dianggap tidak menjanjikan. Pelayaran tradisional mati suri karena karena kebijakan yang tidak menguntungkan. Di sisi lain, pergeseran faktor ruang hidup dari pantai ke darat begitu massif lantaran minimnya infrastruktur pendukung. Indikator paling jelas bisa dilihat dari nasib Suku Laut (Orang Sampan) di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Oleh karena itu, harus ada sinergi yang kuat antara Pemprov Kepri dan Jakarta untuk mencari titik temu.
Ketiga, penguatan marwah ekonomi. Salah satu tumpuan ekonomi kebaharian di tanah air ialah industri perkapalan. Selama ini Batam memang dikenal sebagai pusat industri galangan kapal terpenting di Indonesia yang disusul Surabaya dan Palembang. Pemerintah Pusat percaya bahwa industri ini dapat menjadi katalis penguatan konektivitas maritim. Sayangnya, anjloknya industri migas dan masih buruknya governance investasi membuat industri andalan Batam tersebut makin terpuruk. Akibatnya, puluhan ribu tenaga kerja dirumahkan. Sudah saatnya BP Batam berpacu untuk memperbaiki sarana dan prasarana guna mengembalikan kejayaan industri tersebut.
Keempat, perbaikan SDM. Institusi pendidikan merupakan garda terdepan untuk mencetak sumber daya manusia yang handal. Sebagai PTN satu-satunya di Indonesia yang berbasis kemaritiman, UMRAH memiliki posisi strategis untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat yang pro-maritim. Untuk menuju ke sana, sudah dibuka beberapa program studi yang secara teknis menunjang. Seperti Ilmu Kelautan, Manajemen Sumber Daya Perairan, Budidaya Perairan, Teknologi Hasil Perikanan, dan Agribisnis Perikanan. Namun, sebagai perguruan tinggi yang “berumur jagung”, masih begitu panjang jalan yang ditempuh untuk memainkan peran sesungguhnya. Ada baiknya Jakarta memberikan affirmative action untuk mendukung UMRAH sebagai lokomotif sekaligus kiblat riset kebaharian guna meneguhkan posisi Kepri sebagai purwarupa poros maritim.
Pada akhirnya, poros maritim dunia akan terhenti pada tataran wacana jika tidak ada cetak biru dan peta jalan yang konkret. Hanya dengan kebijakan dan strategi pembangunan yang jelas semua utopia dapat terwujud. Oleh karena itu sebagai salah satu provinsi yang berkarakteristik kemaritiman, Kepulauan Riau dapat mendesak pemerintah pusat untuk meneguhkan tajinya sebagai purwarupa (dan pilot project) poros maritim. Agar kelak lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” tidak hanya menjadi dongeng yang jauh dari keseharian anak cucu kita.(*)