Santri Harus Berani Tampil: Menggenggam Spirit Dakwah di Tengah Arus Zaman
Oleh: Mhd. Munirul Ikhwan, S.Pd., M.Ag, Penulis sekaligus Sekretaris MUI Kota Tanjungpinang
PROKEPRI.COM, OPINI – Menjadi santri bukan hanya soal menimba ilmu di balik tembok pesantren, melainkan juga membangun kepercayaan diri untuk tampil, menyuarakan nilai-nilai Islam, dan mengambil peran di tengah masyarakat.
Pengalaman pribadi saya ketika masih menjadi mahasiswa S1 menjadi pelajaran berharga. Sejak saat itu, saya sudah terbiasa tampil dalam berbagai forum publik: memimpin pembacaan doa, khutbah Jumat, menjadi imam yasinan, hingga diskusi keagamaan.
Meski saat itu belum merasa cukup layak, saya memaksa diri untuk terus berani melangkah—karena saya sadar, jika santri tidak tampil, maka ruang itu akan diisi oleh mereka yang belum tentu membawa nilai kebenaran dan kemuliaan Islam.
Suatu hari, dalam sebuah acara akademik, saya diajak berbincang oleh seorang profesor senior. Obrolan kami tidak panjang, namun sarat makna. Salah satu ucapannya yang tak pernah saya lupakan adalah: “Kelak saat ilmu pengetahuan semakin maju, semua orang akan mendekat pada ahli agama. Meskipun mereka berasal dari latar belakang atau disiplin ilmu apa pun, pada akhirnya akan kembali kepada agama.”
Saya terdiam sejenak, merenungkan pernyataan itu. Di satu sisi, ucapan tersebut mengandung harapan bahwa di tengah kemajuan zaman, manusia tetap akan mencari makna spiritual yang hanya bisa ditawarkan oleh agama.
Namun di sisi lain, saya merasa ragu. Bukankah dengan semakin majunya teknologi, manusia justru semakin terlena oleh gemerlap dunia? Bukankah banyak orang yang setelah meraih kesuksesan, justru menjauh dari nilai-nilai agama karena merasa cukup dengan logika, data, dan materi?. Namun kemudian saya menyadari, ucapan sang profesor bukan sekadar idealisme kosong, melainkan sebuah prediksi yang sangat mungkin terjadi.
Di era post-truth dan keterasingan spiritual ini, kita mulai melihat bagaimana orang-orang yang bergelimang harta dan pengetahuan duniawi justru kembali mencari makna hidup yang sejati. Banyak dari mereka yang akhirnya mendekati para ulama, belajar tasawuf, memperdalam Al-Qur’an, atau sekadar merenungi makna kehidupan dalam cahaya agama.
Sebagai santri, saya menyadari bahwa menjadi ahli agama bukan sekadar soal menghafal kitab atau memahami fiqih semata, melainkan juga bagaimana membumikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu, santri harus berani tampil.
Santri harus siap memimpin, berbicara, menulis, dan menjawab tantangan zaman dengan keteladanan dan ilmu. Jika tidak, maka ruang dakwah akan diisi oleh mereka yang hanya bersuara tanpa dasar, atau lebih buruk lagi, oleh suara-suara yang menyesatkan.
Inilah tugas berat santri hari ini: menjadi juru bicara nilai-nilai langit di tengah hiruk pikuk bumi. Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita memiliki keberanian untuk tampil dan menjawab kebutuhan umat.
Sebagaimana kata Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din:
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.” Maka tampilnya santri bukan sekadar untuk eksistensi, tetapi untuk membawa pencerahan.
Zaman akan terus berubah. Namun kebutuhan akan petunjuk hidup yang benar akan selalu ada. Dan di sanalah letak peran santri: sebagai lentera dalam kegelapan zaman.***