OPINI

Ketika Penguji UKW Mengingkari Kode Etik yang Diajarkannya

Oleh: Ady Indra Pawennari, Bendahara PWI Kepri

PROKEPRI.COM,OPINI – Dunia jurnalistik kembali tercoreng oleh ulah oknum wartawan yang juga merupakan penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di lingkungan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri.

Ironisnya, pelanggaran serius terhadap Kode Etik Jurnalistik justru dilakukan oleh sosok yang selama ini menjadi penguji sekaligus pengajar etika jurnalistik kepada rekan seprofesinya.

Beberapa bulan lalu, saya mengalami langsung tindakan tidak profesional dan melanggar etik dari seorang wartawan media siber, yang juga dikenal sebagai penguji UKW. Saya diberitakan secara sepihak, tanpa pernah dikonfirmasi, diverifikasi, apalagi dimintai klarifikasi. Narasumber yang digunakan dalam berita pun ternyata mengaku tidak pernah memberikan keterangan kepada wartawan tersebut.

Saya menemui langsung pejabat di Polda Kepri yang disebut sebagai narasumber. Beliau menegaskan tidak pernah diwawancarai, apalagi memberikan pernyataan resmi. Bahkan, pejabat tersebut menunjukkan bahwa ada 18 pesan konfirmasi dari sejumlah wartawan yang tak satupun ia respon karena hal itu di luar tupoksinya—menjadi kewenangan Humas.

Ternyata, isi percakapan via telepon yang bersifat pribadi dan off the record direkam diam-diam dan disebarluaskan, seolah-olah merupakan keterangan resmi. Ini adalah pelanggaran berat dalam dunia jurnalistik. Selain menabrak Kode Etik Jurnalistik, juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Saya sangat kecewa, terlebih karena wartawan yang menulis berita tersebut merupakan rekan dekat saya, yang pernah saya bantu secara pribadi dan profesional. Lebih menyedihkan lagi, dia adalah penguji UKW saya saat mengikuti uji kompetensi tingkat Madya. Dialah yang dulu mengajarkan pentingnya konfirmasi, verifikasi, dan klarifikasi, serta melarang pencampuran fakta dan opini yang menghakimi.

Namun, dalam praktiknya, ajaran itu hanya menjadi teori di ruang ujian. Dalam pemberitaan tentang saya, semua prinsip itu dilanggar: tidak ada konfirmasi, tidak ada hak jawab, tidak ada itikad klarifikasi. Judul berita pun bombastis dan langsung menghakimi, seolah saya adalah pelaku penipuan proyek pematangan lahan senilai Rp1,8 miliar.

Padahal, kasus yang dimaksud berkaitan dengan cek yang saya pinjamkan kepada teman. Si peminjam tak menyetorkan dana saat jatuh tempo, membuat saya terseret sebagai pemilik cek kosong. Namun, sebelum berita itu terbit, pelapor sudah mencabut laporan dan kedua pihak telah berdamai di hadapan penyidik. Sayangnya, fakta ini diabaikan oleh si wartawan.

Saya sempat frustrasi melihat bagaimana seorang penguji UKW bisa menginjak-injak etika yang dia ajarkan sendiri. Saya sampaikan hak jawab dan klarifikasi kepada media tempatnya bekerja. Namun, tidak dimuat. Hanya sebagian media lain yang dengan jujur memuat klarifikasi saya, bahkan ada yang mencabut beritanya secara sukarela.

Saya jadi teringat kalimat bijak: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Jika seorang penguji UKW bisa membuat berita sesuka hati tanpa menghormati Kode Etik Jurnalistik, lalu bagaimana dengan wartawan yang dia latih?

Ini bukan hanya soal pribadi saya. Ini tentang integritas profesi wartawan. Jika tidak ada sikap tegas dari organisasi profesi dan lembaga terkait, maka yang rusak bukan hanya satu nama, tapi nama baik seluruh dunia jurnalistik kita.***

Back to top button